Salam Sejahtera.. Semoga Anda selalu diberi kesehatan, rejeki yang berlimpah, dan selamanya bahagia.. ;-)

PuisiKu



-----------------------------------------------------------------------
MUTIARA API (Nyanyian Frustasi)
-----------------------------------------------------------------------

KAU HANTU PENYELONONG #1 (Epidose Luntur)

Dalam suasana malam ini…, dalam suasana musim hujan ini…,
Dalam suasana gulita menderau ini…, eranganku tak terdengar…,
Seolah tiap kata membuyar dalam kelam…..
Segala yang kujumpai…, segala yang kurawat…,
Segala yang kubina telah mati…, dan pergi…
Tanaman-tanamanku…, bunga anggrekku…, binatang-binatang piaraanku,
Dan kini…, malahan hantu manisku juga…, kedekatanku dengannya…,
Pasti tak akan bertahan lama…, ahh…..

Aku yang percaya sumpah dan serapah, hari-hari baik, dan hari-hari naas,
Hampir terbawa kepada tenaga-tenaga gelap yang tak nampak…
Saat berita itu datang…, berita yang pasti bukan sekedar berita…
Berita dari suara yang sangat kupercaya…, mengorek lubang telinga…
Dan terus mengacak-acak isi kepala…..

Pecundang ! ya…, aku telah dipecundangi…,
Bagai seekor gajah yang dipermainkan semut yang tak mau mengalah…,
Bagai pohon lebat yang dirongrong ulat…,
Kau ! hantu penyelonong ! penggoda dunia !
memandangku dengan tertawa…,
tangan panasmu telah mencakar dada…, mengobrak-abrik seisi raga…..

Suasana hatiku telah kosong…, lepas dari duniawi, mengatas indrawi…
Aku tak bisa berbuat banyak dalam keadaan jiwaku seperti ini…
Belum pernah kualami seperti dalam bulan ini…
Bagai menjalani dua macam kehidupan…
Atau mungkin…, aku memang dalam dunia yang penuh dengan dongengan ?

Aku yang telah kalah dan remuk…, akan diam untuk sementara…
Akan kuhentikan semua nyanyian, melepaskan diri dari tekanan…
Takut si penyelonong datang dalam anganku…
Takut dia menjadi hati nuraniku…

Lembaran kertasku sudah penuh dengan titik-titik air mata haru…
Seolah kejar mengejar di depan cahaya lampu…
Cerai berai…, memercik…, dan melayang terbang…
Seperti hantu manisku…, yang akan melayang… hilang………..


KAU HANTU PENYELONONG #2 (Episode Sarkastis)

Masih dalam suasana malam…
Dalam suasana yang gelap pekat…
Seiring suasana musim hujan… deras hujani bumi dengan basahnya…
Eranganku berubah menjadi sebuah teriakan…
Seperti halilintar yang mengguntur… seolah ingin membelah langit…
Teriak ratapi diri…, karena terlalu sering dilemparkan badai…
Terlalu sering ditikam cinta… terlalu sering ditinggalkan pergi…
Oleh segala yang dulu aku sukai… kupercayai… kuharap…
Seperti tanamanku…, binatang piaraanku…, keberuntungan…
Dan juga dia…

Ya…, kau wanita…, hantu penyelonong…, penggoda dunia…
Enyahlah dari mataku… pergi dari hadapanku…
Jangan lagi kau tampilkan akting bejatmu…
Jangan lagi kau pamerkan tubuh kotormu…
Belang kulitmu…, sebelang hati dan sikapmu… jalang !

Aku masih percaya sumpah dan serapah…
Seperti hari-hari baik dan hari-hari naas…
Meski aku tlah dipecundangi oleh semut pemikat nafsu…
Brengsek ! ya…, aku telah dibokongi…

Kau hisap putih suci pengisi alam…
Kau reguk habis semua iman para pejantan…
Kau… hantu penyelonong… pengobral cinta…
Enyahlah dari otakku… pergi dari bayanganku…
Jangan pernah kau dekati lagi jasad kasarku…
Jiwaku sudah berpaling untuk muka duamu…

Kan kubiarkan kau pergi terbawa angin…
Kan kubiarkan kau lenyap dimakan bumi…
Kan kubiarkan kau hilang ditelan alam…
Tak sudi aku menyentuhmu dengan cintaku…
Kau wanita… hantu penyelonong… pembawa lara…
Tak akan ada lagi cinta diantara kita…..


KAU DAN GARIS TANGANKU

Aku di sini…, yang tak tahan melihat kau memamerkan jiwamu…
Sebab…, jiwamu adalah seperti hari dengan senja yang panjang…,
Makin menjelang malam abadi…, makin hitam !
Sungguh…, pemandangan ini membuatku merasa mual…
Seperti darah yang bergumpal-gumpal…
Tapi aku tetap di sini…..
Seperti pemancing yang baik…, mencari suatu tempat…
Dan duduk terus di sana…, tidak perduli apa yang bakal terjadi…..

Kau boleh memamerkan yang tak mungkin…
Kau boleh memaparkan keistimewaan yang paling mustahil…
Tapi jangan sekali-kali mendadak berhenti bicara…
Karena kesunyian akan berbahaya…
Kesunyian sama dengan…,
mengembalikan pernafasan seseorang yang baru tenggelam…,
penuh dengan ketegangan…..

Aku yang di dekatmu…, mempunyai perasaan seperti berjalan-jalan di hutan, dengan seorang sahabat yang ramah…
Yang mengobrol sambil mencabut pedang dari pinggangnya…..
Salammu yang penuh ramah…, melekat seperti dempul…
Suara merdumu yang memberi harapan…, menghisap bagai lintah..
Kau pembohong yang tersenyum….,
Kau seperti amplop tipis yang tak berisi…

Aku sekarang sendiri…,
Setiap potong, dan setiap gejala alam…, penuh dengan tenaga-tenaga sakti…, mendorongku untuk tetap terus bertahan…
Tapi aku masih tetap merasa jiwaku terbelah…,
Seolah-olah kepalaku bermuka dua…
Apakah aku lahir dari keanehan magis…,
hingga selalu merasa asing dan tragis ?

Aku yang tetap saja gersang…, dan selama-lamanya terbuang…,
Masih terus mengembara…, bagai layar perahu…,
Diregang sepanjang waktu…, dipecut… badai…..


AKU TAK INGIN #1

Aku tak ingin diganggu…
Biarkan aku bergelut dengan masalah nurani di bawah sadar…
Seperti seekor burung malam, dengan suara murung dan serak yang terus mengembara…
Semua hal yang kujumpai, seperti tetes-tetes tak berarti dalam samudera gelap…
Bagai seekor ikan, yang hidup dalam himpunan air yang tak terpahami…
Tak sanggup memperkirakan, apa yang ada diluarnya…
Dan kalaupun ada sesuatu diluarnya, apa pula yang ada diluar sesuatu itu…

Aku tak ingin menanti…
Berangan-angan dan menunggu untuk selama-lamanya…
Sepertinya hidupku penuh dengan tanda-tanya…
Dan aku dituntut untuk menjawabnya…, Dan mungkin dari sejak lahir,
Kepalaku sudah dikelilingi aura hitam dan membawa karma…,
Kerumitan…, ketegangan…, keterpencilan…, dan kesunyian…

Aku tak ingin dikasihani…
Tak ingin dipandang seperti seekor ternak di pasar…
Biarkan aku untuk selalu mencoba berpuas hati… sekalipun aku keliru !,
Karena jika keliru…, aku belajar sabar…,
Dan jika aku suka sabar…, aku bahagia…
Apakah karena aku orang kotor, aku tak boleh mengharumkan namaku ?
Apakah ditumpukan sampah, tak boleh tumbuh bunga indah ?


AKU TAK INGIN #2

Aku tak ingin dikekang…
Dipaksa memakai topeng seorang yang bersih dosa…
Aku adalah aku…, seorang manusia biasa…
Yang sekalipun kecil…, biarkan aku !
Merangkak dengan wajah dungu dan primitif…
Selalu berusaha tertawa dengan harapan kekanak-kanakan…
Selalu berusaha tanpa susah, melangkah gagah dalam ketiadaan…..

Aku tak ingin dibuang…
Seperti seekor semut yang berada dalam susu kental manis…
yang seharusnya hidup di alam rumput…, bukan hidup dalam susu bikinan…
akhirnya mati karena rindu rumput, rindu kebebasan dalam kesederhanaan…

Aku tak ingin dikhianati…
Biarkan aku memandang ke dalam gelap yang kabur…
Mencari tahu..., apa yang mungkin dan tak mungkin…
Sampai mataku dalam…, sedalam malam…, hijau… seperti patung kuno dari jamrud…
Dan hidup tentram dengan semua itu…..

Mutiara Api…, aku hanya ingin kau mengerti aku… Cuma itu……


KU INGIN…

Kala hati kecilku menjerit keras….. namun sunyi…..
Kala detak nadiku bergerak cepat….. namun pelan…..
Kala debar jantungku bergerak liar….. namun lembut…..

Aku diam…, tak bergerak…, tak bergeming semili pun…
Jiwaku berontak…, meronta…, garang…
Bagai monyet liar yang di sodorkan pisang…
Namun tangan dan kakinya terikat kencang…
Kecewa…, putus asa…, sumpah di kata…

Kala mata nanarku tak berkedip….. namun terpejam…..
Kala tangan panasku mengejang….. namun lemah…..
Kala otak kecilku berputar….. namun buntu…..

Gairahku bangkit…, tapi tak keluar…, tertahan…
Tersumbat aroma aneh…,
Dari pancaran sinar mutiara lembut…, yang terkepung hutan api…

Sisi hitamku keluar…, mencari pasangannya…
Tapi tetap tertahan…, terhalang tembok transparan…
Batasi antara kebaikan dan keburukan…
Terkepung hutan keraguan…..

Mutiara api…
Aku ingin ketulusan…, aku ingin selamanya dekat…
Berdampingan…, tangan kita erat…,
Tapi tidak terlalu rapat…
Seperti pohon-pohon di hutan…,
Yang tumbuh…, saling menjaga jarak…..


CINTA LAKNAT 1


Seekor cecak memanjat dinding tinggi…, tinggi tanpa batas…..
Dan ia melemah…, dan ia menurun…, dan ia gagal…, dan ia jatuh…,
Dan ia pun di injak-injak oleh seekor semut


CINTA LAKNAT 2

Cabut saja pedang garang….. mu…
Dan arahkan ke dadaku…
Lalu belahlah !
Ambil jantungku dengan tanganmu yang hitam…
Simpan di atas batu pualam yang putih…
Kau akan lihat…..
Tak ada satu suara pun tentang dirimu !!!

Cabut saja belati sakti….. mu…
Dan arahkan ke hatiku…
Lalu tusuklah !
Lihat darahku dengan matamu yang hijau…
Hirup hingga kulitmu menjadi merah…
Kau akan rasakan…..
Tak ada satu gambar pun menyerupaimu !!!

Cabut saja nyawaku dengan senyummu yang palsu…
Dan benamkan…, dalam tawamu yang angkuh…
Lalu tutup dengan cintamu yang laknat…
Kau akan lihat…..
Meski kau pecahkan bola lampuku…,
Tapi kau tak dapat padamkan sinarku !!!


TERKEJUT AKU

Terkejut aku…
Seperti tersambar sengatan listrik…
Dengan jutaan atom yang mengelilingiku…

Berubah aku…
Seperti terpanggang sengatan panas…
Dengan jutaan cahaya yang menyambarku…

Wujud lunakku telah berganti…
Seperti ular yang mengganti kulitnya…
Seperti kumbang yang mengganti rumahnya…

Sisi hitamku telah keluar…
Terdobrak frustasi yang tak terbendung…
Mencari kebebasan…, keleluasaan… tanpa dikekang…..


BIARKAN AKU HIDUP

Aku hidup…, seperti ikan di daratan…
Menunggu untuk di jemput… maut…
Otakku… kosong…, seperti kertas tanpa coretan…
Mencoba melangkah di ujung tanduk…
Dan resiko dijadikan taruhan…

Aku hidup…, seperti bulan terhalang awan…
Tak kuasa…, penuh maki…, frustasi…
Jiwaku… limbung…, seperti kapal diancam karam…
Dan nasib dijadikan percobaan…

Aku tak bisa berpura-pura…
Tersenyum… tertawa… karena dipaksa…
Aku hidup karena ingin hidup…
Tanpa topeng di wajahku…

Aku adalah diriku sendiri…
Nafas…, ruh…, dan tubuh adalah milikku…
Aku hidup karena oleh nafsu…
Tanpa desakan dari cinta…..


KEPADA SAHABATKU MUTIARA API

Sahabatku…
Aku hanya ingin kamu tau…,
Bahwa jasadku masih hidup !
Untuk tetap terus berdiri…,
Mencari warna kehidupan…
Menggigil menembus pagi…
Merangkak langkahi siang…
Bersahabat mentari…,
Bertemankan debu jalan…
Aku hidup diantara waktu gelap…, dan terang…

Sahabatku…
Kamu tau ? Kenapa aku masih hidup ?!
Bahwa hidup adalah ibadah…
Bahwa hidup adalah perjuangan…
Dan perjuangan butuh rintangan…
Butuh darah.., dan butuh air mata…
Apakah cinta dibutuhkan ?

Sahabatku…
Untuk berani hidup ternyata memang lebih sulit…,
Ketimbang untuk berani mati…
Tapi…, itulah aku…!, itulah diriku…!
Yang hari ini…, tetap sahabatmu…
Sahabat diantara cinta yang terikat…
Walau kita dipisahkan dengan… tembok transparan…..


SOBATKU MUTIARA API…

Sobat …, tolong bantu aku…
Jauhkan aku dari gempuran angin…
Namun bukan angin kencang atau angin ribut…
Bukan taufan atau yang seperti itu…
Hingga aku tak terantuk lebur pada tanah tenggelam…
Hingga aku tak tertumbuk hancur pada batu karang…

Sobat…, tolong bantu aku…
Bangunkan aku dari kejamnya mimpi…
Namun bukan mimpi yang penuh mimpi…
Tetapi fikiran yang mengembara dalam kenangan…
Ketika daya khayal masuki dunia dan keajaiban…

Sobat…, tolong bantu aku…
Untuk percaya pada hal yang tidak kelihatan…
Untuk percaya pada hal yang tak terjangkau…
Pada hidup dalam hidup… pada misteri dalam firasat…

Sobat…, tolong bantu aku…
Damaikan aku dengan sisi hitamku…
Hingga aku bisa memaki saat hatiku marah…
Hingga aku bisa bersorak saat otakku gembira…
Hingga aku bisa menangis saat jiwaku kering…

Lepaskan aku !
Biarkan aku bermain dengan nasib…
Menghibur diri dengan takdir…
Berpuas hati dengan kesederhanaan batin…
Bebaskan aku !
Biarkan aku tertidur dalam senyuman yang halus…
Biarkan aku terlelap dalam tawa yang tulus…
Sobat…, bersediakah kau ?


INGIN RASANYA

Ingin rasanya ku lepas wajahmu…
Dan ku tanam ke dasar lumpur…
Hingga aku tak lagi tegang…
Tenang seperti sayapnya elang…

Ingin rasanya kuhapus kisahmu…
Yang slalu coba tampikan gambar…
Gambaran tentang cerita usang…
Cinta Cuma dijadikan mainan…

Ku tlah terkurung dalam bayanganmu…
Menari di depanku…, muak di rasaku…
Ku tlah terkepung oleh bayanganmu…
Merayu dimulutmu…, sumpah dikataku…
Ingin rasanya… kulupakan kamu…..


HANYA UNTUK SENDIRI

Aku hijau bagai mayat…, sunyi dan lenggang seperti di dunia purba…
Di atas…, menjulang langit abu-abu…,
Dimana makin banyak bintang menampilkan diri…
Alam yang tak terjangkau…..
Terdengar suara murung…, dari burung malam yang mengembara…
Bagai perasaan bersalah yang menyesali diri…..

Orang-orang yang kujumpai…,
Tergolong mereka yang hanya ingat diri sendiri…
Tak pernah ketemu orang yang murah hati…
Munafiknya sahabatku…, fanatiknya temanku…,
Nafsu yang mendobrak jantungku…
Naik ! menyelimuti otak…..

Aku melayang-layang tanpa jiwa…
Dan kesunyian merayap di sekelilingku…
Pikiranku bagai pohon-pohon bercat putih di pinggir jalan… seperti hantu !
Ku teriak !, dan dinding-dinding kesunyian runtuh dengan mengguruh…
Suaraku bagai garuda yang kena tembakan maut…
Merambat dari cakrawala ke cakrawala…
Membisingkan dan melemahkan perasaan…..

Gigiku menggeletak…, tanganku menjadi kejang…
Ada genangan air di sudut mataku…, itulah embun duka…,
Yang selalu muncul pada setiap jam…, setiap menit…,
Setiap detik…, bahkan sampai seperempat juta detik…..

Kebahagiaan mati…, cahaya mati…, jiwaku…, t’lah mati………..
Selamat tinggal….. Mutiara Api………………………………….












---------------------------------------------------------------------------
HITAM PUTIH ( Lolongan )
---------------------------------------------------------------------------

BERCANDA DENGAN NASIB #1

Aku ingin bebas !
Tak mau ku dihina dengan belenggu…
Biarkan aku…, untuk mengembara di dalam gelombang suara…,
Berjalan diantara detak bahasa…..

Aku yang keranjingan gita cinta seumur hidup…,
Kadang lari…, kadang terkurung…, kadang dilupakan…,
Kadang dikhianati oleh keberuntungan…,
Sampai aku sakit…, sendiri…, sepi tanpa kawan…..

Sekali-kali ingin kulupakan kisah mengerikan ini…,
Sebelum memikul nasib yang sama…, akan kuhukum diri sendiri…,
Hingga bayangan paling tajampun…, pudar oleh kemiskinan…, sengsara…

Peristiwa itu telah berlalu…, puisiku telah mulai digubah…,
Dan tanganku pun mulai bekerja…, walau keringat tangis menyimbah diri…
Hingga bekunya darah di dalam pembuluh…,

Siksaan dalam syair-syairku pun tak kunjung berakhir…
Mungkin aku harus menanggung nasib terkutuk…,
Bagai sebuah pohon yang disambar angin ribut…,
Dan berputar-putar di luar kuasanya…..

Aku yang dikepung musuh…, oleh teman-teman di masa susah…,
Dijauhi bagai bangkai busuk……
Tapi aku berlagak acuh tersenyum…, walau merana jiwaku…,
Dan jasadku sedang sekarat…,
Aku berbuat baik walau dijahati… sungguh nasib yang malang….
“Begitu khan… Mutiara Api ?”

Aku seperti seorang pemburu ulung…,
Yang hidup dipadang buruan…, memburu kebahagiaan…,
Namun tak pernah mencapainya…,
Hanya sedih…, sepi…, sial yang dipeluknya…..

Dalam kehidupan…, kutempuh penghidupan…..
Dengan diiringi desau yang serba gaib…,
Kutunggu nasib dengan tertawa…………………………………


BERCANDA DENGAN NASIB #2

“Sebelum aku mati…,
sebelum aku ber-reinkarnasi………
…………………………

Ketika kuganti kain kafan lusuhku dengan yang baru…,
Ketika payung hitam di siram hujan batu…,
Kabut memenuhi ruang kosong di dalam diri…
Dan gelap masih tetap menyumbat lubang hati………..

Aku hanya tersenyum ketika nasib tentukan pilihan…,
“Maju ?” atau “Diam ?”

Dan aku hanya menggangguk ketika nasib memaki…,
“Kamu orang lemah yang tak pernah siap !?”

Mungkin kurasakan kedatangannya tanpa terelakan…
Seperti tersentuh oleh seribu ancaman…
Namun akan aku sambut dengan merah…
Akan aku ajak dalam sikapku yang terkadang abstrak…
akan aku bawa dalam perjalanan gila yang sarat corak…..

Ingin aku pinjam tongkat ajaibmu…,
Untuk perbaiki cara hidupku seperti kartu salah susun…
Untuk kembalikan cinta yang pernah hilang…
Untuk hidupkan kembali rindu yang telah mati…
Untuk temukan jawaban dalam kehidupan yang penuh teka-teki…

Diantara desah lesu… dan jasad yang sekarat…,
Kutantang nasib dengan tersenyum………………..


BERCANDA DENGAN NASIB #3

(“empat tahun lalu…, hari ini…, dan seterusnya adalah waktu…..
bagiku…, waktu adalah cinta yang tak berbatas….. apabila
senyumanmu tidak mampu mencairkan kebekuan air mata…,
maka itu adalah akhir sebuah… waktu…………………”)

……………………………………………………………………..
Aku jatuh ! Mengerang bagai camar di tengah ganggang hitam…
Dan terhempas luluh !
Murung…, bagai surya tegak terhalang awan…
Aku pun tersungkur ! Pedih…, bagai hewan yang sekarat……

Aku yang merana diremuk duka…, Telah dirampasi habis-habisan…..
Digigit dan dicabik-cabik…, oleh bayangan Mutiara dalam kepungan Api…,
Yang membuatku tergoda…, masuk ikatan yang menggairahkan…
Sampai kuboroskan sumsum ku…, dan jiwaku menjadi lesu…..

Aku yang terkapar parah…, menjerit parau terengah-engah…,
Bagai kapal karam di tengah…, tak tertolong…, dan musnah….
Aku yang terbaring kalah…,
Berhasrat besar…, meski hati kecil umpatkan serapah…
Berkeluh samar…, lemah………..

Dengan waktu aku hebat berperang…
Semangatku hidup…, gairah bergelora garang…
Meski di tempat kering…, aku harus berenang…..
Penuh yakin aku berkeras hati…, teguh kuat bagai ikatan besi…
Menyimpul.., tahan uji dan tahan daya..,
tetap melekat.., sepanjang masa…
Ku berjuang terus.. harapanku tak putus..
sampai zaman menelanku rakus…
Timbul pagi tenggelam petang…, tapi suka tak kunjung datang…..
Suaraku luntur…..
Pandanganku kabur…..
Hatiku….. hancur !

Dengan diiringi irama indah lonceng diri….,
Kuajak nasib dengan bernyanyi………………………………….


BERCANDA DENGAN NASIB #4

“…..jika katak punya sayap…, dia tak akan melompat-lompat………..”

Ketika tahun akan mengganti jubahnya…,
Saat itu juga, kulepaskan kain kafan lamaku…, kuganti dengan yang baru…
Dengan niat di tangan kananku…, semangat di tangan kiriku…,
Kusambut dengan warna cerah dan meriah…..
Bagai batang kayu kering yang mendambakan hujan…,
Bagai kelopak bunga kehausan yang merindukan embun…,
Dipaksa menjerit karena habisnya tenaga dalam raga……
Sama seperti syaraf-syaraf jiwaku dengan tali-tali gitar…,
Yang harus tegang untuk dapat mengeluarkan suara……………

Dari dasar hati kuucapkan terima kasih…,
Untuk uluran tanganmu saat aku jatuh ke dalam lubang…,
Untuk pemberian tongkatmu saat aku mendaki gunung…,
Walau senyum di bibir bentukan garis………………
Seperti suatu persahabatan tanpa kehangatan…,
Seperti kecintaan tanpa idealisme…,
Seperti puisi tanpa keberanian…………….
Apakah aku akan selamanya begitu….,
Terseret…, terjerumus…, dan terkikis habis….?

Aku bagai lilin yang hidup menerangkan sekitarnya…,
Tapi selalu dan selalu mengorbankan dirinya…,
Tertahan di pintu, untuk masuk ke rumah yang penuh fantasi…
Seperti batu yang tidak mau memberi tempat pada akar……….
Apakah aku harus menjadi besar dan kuat…,
Hanya untuk dapat meraih bintang…?
Mutiara Api…, Bukankah padi menguning…,
Seringkali untuk makan orang yang tidak menanamnya…?

Aku inginkan ketulusan dan kebaikanmu…, juga harapkan restumu……
Semoga keluhanku menjadi doa…, dan ratapanku menjadi tasyakur…….


UNTUK ANGIN

Kepalaku besar…, bukan berarti besar kepala… ku
Mulutku besar…, juga bukan berari besar mulut… ku
Tapi besar oleh nafsu yang penuh warna…
Warna silau…, gelap…, berani…, dan kosong…

Aku yang selalu percaya pada angin…
Pada hembusannya yang terus membuai…
Mencoba dan memaksaku untuk menahan diri…
Dari amarah yang ingin porandakan hati…

Hatiku kecil…, bukan berarti kecil hati… ku
Asaku kecil…, juga bukan berarti kecil harapan… ku
Tapi kecil oleh keadaan yang penuh corak…
Corak wajar…, kepura-puraan…, dan abstrak…

Angin penuntun kehidupanku…
Angin penggerak motor tubuh kasarku…
Angin pengusir nafsu dari keadaan yang keluar…
Angin peredam sikap kecil dan yang besar…

Tanpa bosan dan tanpa henti keluar masuk…
Untuk menjenguk dan menyapa ruh ku…
Agar aku tetap berdiri pada kedua kakiku…
Agar aku berteman baik dengan bayanganku…
Untuk tegap di atas bumi yang banyak arti…
Untuk gagah di dalam alam yang banyak makna…
Untuk terus berteriak garang tapi pasti…

Besar…, bukan berarti kecil…
Kecil…, bukan berarti besar…
Semua sama… untuk angin…..


RINDU #1

Telah begitu lama kita tidak berpelukan…
Apakah Aku sudah terlalu besar ?
Mungkin…, karena engkau terlalu lesu dan terlalu tua ?
Ibu…, apakah kita masing-masing telah merasa asing ?
Apakah cinta kita menjadi kering ?

Waktu terus berlalu…
Anak-anak sudah menjadi dewasa…
Melihat lelaki yang mereka panggil Bapak,
Bicara keras kepada Ibunya…!
Menyuguhkan pemandangan yang bengis,
Dan menaikkan darah…

Ibu… yang kupanggil Ibu…
Bapak… yang kusebut bapak…
Kucipta untaian kata tanpa nada…
Keluar dari curahan rasa… anakmu !
RINDU #2

Kalian dengar…, Ayah… Ibu…
Suara jerit sakit dari anakmu yang pembangkang…
Teriakan cinta yang telah kering…
Seperti guntur yang merobek langit…
Bergemuruh…, seakan ingin membelah bumi…
Rindu akan kebahagiaan dalam suasana…
Rindu akan warna dan suara cerah…
Rindu sentuhan kasih yang larutkan jiwa…

Kalian dengar…, Ayah… Ibu…
Aku juga bisa seperti matahari…
Yang tulus mengelus lembut…
Lewat sinarnya ketika pagi…
Dan juga bisa menyengat panas…
Lewat teriknya ketika siang…
Tapi aku bukan matahari…
Aku hanya seorang manusia…
Yang tersesat dan terbelit situasi…
Hingga sisi hitamku yang buruk…
Terkadang liar tak terkendali…

Kalian dengar Ayah… Ibu…
Mungkin banyaknya air dilautan…
Banyak bintang di bima sakti…
Belum cukup… untuk lukiskan…
Betapa cintanya aku pada kalian…
Tapi saat ini aku hanya ingin katakan…
Maafkan…
Bila aku belum bisa membahagiakan…..


IBUKU DALAM DRAMA

Di dalam terang bulan…, fikiranku mengembara dalam kenangan…
Kembali ke dunia nasib dan keajaiban…
Yang dipenuhi suasana kesaktian… alam remang-remang…

Cahaya terang bulan… mencoba sisipkan wajah mempesona…
Yang matanya seperti daun kembang seroja…
Sinarnya jingga…, pancaran bak purnama…
Ia adalah yang utama diantara wanita…

Bayangan terang bulan…
Penuh dengan gambar wanita bersinar jingga…
Dan seperti dalam banyak keluarga…
Ia hidup untuk anak-anaknya…
Tapi suaminya jauh darinya…
Kesepian melanda hatinya…
Rusakkan jiwanya… hancurkan gairahnya…
Porandakan kisah hidupnya…

Drawa manusia… tentang wanita dan keluarganya…
Tentang seorang Ibu…, dan seorang pria…
Pria yang sebenarnya adalah seekor hiu besar…
Yang tak sadar anaknya sudah besar…
Yang akan memakannya… bila lapar…

Aku di terang bulan…
Yang kembali ke alam kenyataan…
Renungi gambar-gambar kehidupan…
Sambil bernyanyi… nyanyikan kehidupan…..


YANG KUTAKUT

Aku ingin tau…,
Berapa lama lagi aku harus terombang-ambing…
Bagaikan bola…
Terus merasa khawatir dan khawatir…
Dan semakin merasa ketakutan…

Sungguh…
Terasa pendek pula waktuku…
Terasa cepat waktu berlalu…
Seperti tumbuhan pada musim kemarau…
Melunglai mengharapkan hujan…
Hujan kebahagiann…

Apa yang kutakutkan ?

Aku takut bila maut membongkar tubuhku…
Dan nyawaku masuk ke dalam api…..

Aku takut berdiri… menjadi sasaran peluru…
Yang nyasar… dalam perang…..

Aku takut berada di ujung jalan…
Masuk ke dalam bayangan hitam…
Dan tak kembali lagi…, ke kehidupan ini…

Aku takut…, takut…, takut…..


SEDANG APA AKU DISINI ?

Sedang apa aku disini ?
Apa yang sedang kuperbuat ?
Keluargaku hancur…, saudara-terpencar-pencar…
Sebatang kara kujelajahi jalanan…
Hatiku berat… sungguh berat !

Aku pergi ke cakrawala yang tak kukenal…
Melintasi bukit…, gunung…, menembus ilalang…
Dipeluk angin…, kabut…, teman begadang…
Melangkah tanpa tujuan…, tanpa arah…, mencari ujung jalan…
Abstrak ! bayangan tak berwujud…

Kembali isi malam…
Tumpahkan coretan puisi diri…
Dari suara hati sejati…
Hanya itu yang dapat kulakukan…
Apa sekedar hasrat yang keluar ?

Khayalan… jangan khianati aku !
Ku seru kau dengan suara kering… putus asa… hampa…

Jalanan masih panjang…
Walau tenagaku kurang…
Karena kau…, aku hancurkan hidupku…
Matinya sayang Ibuku…
Lenyapnya kasih Bapakku…
Tenggelamkan aku… sendiri…
Di bawah langit yang sepi…..


KOSONG (Episode Aku di Pinggir Laut)

Kakinya tertancap di atas pasir…
Tanpa alas kaki…
Memandang lurus ke laut… lepas !

Tangannya terselimutkan saku…
Tak bergeming…
Menghirup kabut dan angin… dingin !

Kemana ia memandang ?
Apa yang dipandang ?
Air…? Ikan…? Deburan ombak…?

Tak mungkin !
Mengapa ia begitu ? Apa yang dipikirnya ?
Duka…? Suka…? Kebahagiaan…?
Tak mungkin !

Kosong ?
Ya…, kosong pikirannya…
Kosong pandangannya…
Kosong… kosong…….


HANTU LAUT MENGGODA (Episode Aku di Tengah Laut)

Warnanya laut, biru tua…
Bila matahari tenggelam…
Dan hitam ! bila malam menjelang…

Tersentuh hangat mesra pelita…
Di atas biduk nelayan tua…
Dipermainkan ombak kecil menggigit…
Punggung gunung nampak hitam di depan langit…

Heningnya malam…, membawa ketenangan…
Keterpencilan… dan keabadian…
Tapi ku murung !

Tercium wangian halus bunga semerbak…
Diantara riak dan deburan ombak…
Tak percaya ?

Terdengar senandung lagu… tapi tidak bernyanyi…
Bunyinya sengau…, menyayat hati…
Ku murung !

Itu hanya suara-suara malam…
Yang penyanyinya nyaris tak terlihat…
Pasti mudah tuk dilupakan…..


WAJAH DALAM API

Lihat di sana lilin menyala…
Cahayanya kebiru-biruan sungguh merana…
Di dalam kungkungan gelap gulita…
Membawa perasaan melarut jiwa…

Aku tertunduk lesu…
Yang setengah melamun dan setengah bangun…
Tertancap pada bayangan wajah samar…
Diantara api kesepian…
Dia hidup…, dia bicara…, tapi tak bersuara…

Aku sadar…, kegelapan ada dibelangku…
Ada dikanan dan dikiriku…
Dunia lain…, dunia yang mati…

Wajah dalam api…
Hilang…, lenyap tak kembali…
Kucari… tapi tak kudapati…
Hanya ada kepungan sunyi…
Dan remang cahaya api…

Aku yang masih sendiri…
Masih meringkuk… ngeri…..


SOSOK

Saat siang berganti malam…
Dan hujan gerimis basahi alam…
Sendiri…, susuri jalan yang legam…
Asap kretek iringi langkah kaki…
Temani hati yang dikalung sepi…

Di bawah cahaya lampu jalan…
Diantara rapatnya pepohonan…
Berdiri…, sesosok hitam tinggi…
Wajahnya samar tersembunyi…
Terhalang gelap yang menyelimuti…

Lewat di hadapannya…
Kusapa…, tapi tak ada suara…
Hanya geraknya yang jadi bahasa…
Dan diam seram menyelimuti dirinya…
Kala angin menggoyangkan bajunya…
Berdiri bulu romaku…,
berdebar keras jantungku…
mendadak kelu lidahku…
kuberlalu…, walau berat langkahku…

kulemparkan pandanganku ke belakang…
rasa ingin tau dan penasaran…
dia menghilang !
cepat aku bergegas pulang…
tak ingin kisah ini kuulang…
dan terulang saat aku pulang…..


HITAM

Di malam hitam penuh kesenyapan…
Melayang penguasa kegelapan…
Lepaskan mimpinya…, buang khayalannya…
Hanya kesepian di fikirannya…

Awan hitam masih merayapi malam…
Sehitam kelelawar terbang kebingungan…
Hati yang tlah patah…, tenggelam dalam duka…
Tinggal menunggu malapetaka tiba…

Angin dan awan telah berhenti…
Hentikan gerak sayapnya…
Air dan ombak lama berdiam…
Lama menebak isi hatinya…

Menggapai harapan…, gemerlap bagai intan…
Maut yang merampas…, raga mati melemas…
Malam pun berkabung penuh hitam…
Cahaya berubah jadi hitam…..


SANG PELAKON

Aku yang putih…, tapi bukan putih bersih…
Menari membawa ruh…, dengan raga yang tlah rapuh…
Aku merintih…, tapi bukan rintih sedih…
Mengharap di dalam sunyi…, menjerit hanya sendiri…

Nasib dipermainkan dunia…, figuran dalam sandiwara…
Takdir dipermainkan cinta…, kasih sayang yang tak menyapa…

Lihatlah dan pandangi…
Antara hidup dan mati…
Tumpuan harapan tlah pergi…
Membekas erat di hati… membelenggu dalam diri…

Secercah cahaya mendekat…
Bagai sebuah mukjijat…
Masuk menembus sanubari…
Bangkitkan semangat yang tlah mati…
Kembali lakon harus dijalani…..


AKU DI WAKTU MALAM

Waktu malam…, suasana gelap…
Yang bernafas sunyi dan berbau harum…
Dengan segala bayang-bayang pekat…
Dengan pohon-pohon beringin yang keramat…
Dan jalanan penuh dengan pohon-pohon cemara…
Melangkah pelan…, mengukur jalan…, tak tentu tujuan…

Angin di waktu malam…
Angin yang hidup dalam hidup…
Bergolak…, bagai nyala-nyala api di bawah gunung…
Bagai kerusuhan di bawah singgasana…
Menghembuskan semua cerita…
Kebencian… kedengkian… kemesraan…, dan kemurungan…

Aku di waktu malam…
Yang tak menyadari nilai sepenuhnya dari malam…
Menerobos batas kesepian…
Menembus hutan kesunyian…
Seolah mengantar wangian halus bunga malam…
Menghirup angin…, menyedot kabut…

Cerita di waktu malam…
Hanya menjadi bumbu pelengkap…
Dalam cerita kehidupan…
Di waktu… malam…..


MIMPI BURUK

Ku bermimpi… mimpi buruk cerita diri…
Yang kecil dan hanya sendri…
Hidup dalam kepungan sepi…
Temanku hilang…, saudaraku hilang…
Rumahku hilang…, negaraku hilang…

Dalam mimpi…, kuterjebak di dalam gelap…
Yang hitam dan terasa pengap…
Bagai gema suara tersirap…
Tenagaku hilang…, smangatku hilang…
Gairahku hilang…, asaku hilang…

Pagi datang…, sirnakan mimpiku…
Sang mentari silaukan mataku…
Bangunkan aku dari belenggu kisah suram…
Yang meninabobokanku dalam mimpi seram…

Mimpi buruk…, tak mau kualami lagi…
Mimpi buruk…, tak mau kuingat lagi…..


KARENANYA

Udara disekelilingku terasa panas…
Aku yang hitampun meradang…
Karenanya…, sikapku berubah beringas…
Terbawa-bawa nafsu yang garang…

Suasana disekitarku terasa sesak…
Aku yang bosanpun merasa kecil…
Karenanya…, perasaanku berubah muak…
Terbawa-bawa jiwa yang labil…

Aku yang sedang memikul…
Memikul beban berat…
Berat hinnga tak bisa melangkah…
Tuk berjalan susuri jaman…
Karenanya…, aku hanya bisa diam kaku…
Bagai patung batu…
Aku hanya bisa menatap…
Bagai paku yang tertancap…

Tapi ini bukan karenanya…
Hingga aku bisa bergerak…
Walau harus merangkak… lewat naluri yang aku hentak…
Dan inipun bukan karenanya…,
Asa nyata kan kedamaian…
Asa nyata kan kebahagiaan… bisa aku dapatkan…

Perjalananku berbelit-belit… dan banyak hambatan…
Tapi aku tak merasa sulit… karena ada jembatan…
Yang menghubungkanku dengan sinar kemudahan…

Ini yang pasti karenanya…, hingga aku bisa hidup…
walau fikiranku sedikit tertutup…
Dan suaraku terdengar sayup-sayup…

Dan ini juga karenanya…hingga aku bisa membuat puisi dan prosa…
Lewat gerak jariku yang kuasa…
Merangkai kata-kata… mempercantik bahasa…..


GAIRAH KEHIDUPAN (Episode Kotaku)

Pagi hari…, sebelah barat kota Sukanagara…
Duduk termenung di muka jendela…
Memandang ke jalan yang basah…
Memandang cabang-cabang pohon yang tak berdaun…
Kuyup… bau tanah… bau uap… bau rumput…

Gunung Karang…, kelihatan berselimut putih…
Sinar matahari yang kuning mencoba menembusnya…
Mencoba merenggut lepas kabut itu…
Menjadi gumpalan-gumpalan yang panjang…
Alam yang hidup abadi…
Suasana yang tentram dan damai…
Penuh dengan gairah…
Sejuk… cemerlang… kemilau… cerah…

Inilah kotaku !
Sukanagara yang masih belum dicemarkan udaranya…
Tidak oleh debu…, tidak oleh asap yang kumal…
Meski aku layu…, meski kehilangan akar…
Seolah tumbuhan tanpa getah dan tanpa tanah…
Tapi ku bergairah…, oleh alam pagi yang terbuka…

Kujejali hati dan fikiran dengan suasana kerinduan…
Sebab, bukankah kebahagiaan manusia…,
Adalah mereka yang masih punya sesuatu untuk dirindukan ?
Tidak peduli rindu akan masa silam yang tak mungkin terulang…,
Atau rindu yang masih dinantikan tibanya…
Bagiku, kerinduan berarti menjauhkan keputus-asaan…
Kerinduan merupakan sumber pemberi tata warna kehidupan…

Aku…, masih duduk temenung…
Bagai batu hitam kelam yang tertancap dalam salju putih bersih…
Mencoba temui dunia baru…, cakrawala baru…
Dalam gairan di alam pagi… Penuh kerinduan suasana pagi…
Kan kutunggu… kan kunanti…
Kehadiranmu…, gairah dan kerinduan di alam pagi…
Di sana…, atau di sini…..


TERJEBAK

Ku tlah terjebak…
Masuk ke pusat alam mimpi…
Hidup disana…
Dan segan untuk kembali…
Aku merasa… seolah itulah duniaku…

Bebas bergerak…
Tak ada yang merintangi…
Dan terbang lepas…
Raih semuanya dengan mudah…
Keinginanku…
Sudah ada dihadapanku…

Ku tak sadar… terlalu lama dalam alam samar…
Membuat segalanya berantakan…
Ku tak sadar… mimpi-mimpi menghipnostismu…
Dan jadikan aku patung batu…

Ku tlah terlepas…
Pulang kembali ke alam nyata…
Hidup disana…
Dan akan terus kujalani…
Suka dan duka…
Kuanggap itu dinamika…..


PUISI EDAN

Sekarang aku baru percaya…
Bahwa cinta itu ternyata tidak ada…
Semua yang ada di dunia itu palsu…
Yang ada hanya satu…
Yaitu nafsu…

Mana yang harus kupercaya…
Alam…, orangtua…, atau syetan ?
Bila semuanya sama dan tak jauh beda…
Hanya nafsu dalam prioritasnya…

Gila mungkin lebih halus dari kata edan…
Sikap keluar batas dan hilang perasaan…
Gambaran dari diri pribadiku…
Matinya nurani… karena nafsu…!

Takkan ada lagi cinta… untuk kisah hidupku…..


AKU BOSAN MENUNGGU

Sang Pengatur…
Kapankah kutemukan kunci rahasia…
Untuk masuki mimpi yang sesungguhnya…
Raih semua cinta dan cita-cital…

Ingin kumasuki lubang yang sempit ini…
Agar nanti aku bisa berdiri…
Diantara para pengejar mimpi…

Sudah bosan ku jadi pecundang…
Sudah saatnya ku jadi yang terdepan…
Pengharapan untuk kemenangan…

Tapi pintu masuk masih kucari…
Tersembunyi dalam kejamnya mimpi…
Apakah ini berarti…, kuharus tetap menunggu…

Kini ku hanya harapkan mukjijat…
Agar dapat menolongku cepat…
Cukup aku tak mau tau…
Aku sudah bosan menunggu…..

“hari ini aku belajar sesuatu…
…segala sesuatu yang dilakukan terburu-buru,
apapun hasilnya.., tidak akan memuaskan !


LELAH DAN BOSAN

Semakin hari semakin kusadari…
Tempat di mana ku berdiri…
Sepertinya sudah lelah tuk aku tempati…
Rumahku…, kamar tidurku…

Bertambah tua…, bertambah umurku…
Jalan dimana ku melangkah…
Sepertinya sudah bosan tuk aku lewati…
Trotoar…, lampu penyebrangan…

Tapi ku masih disini…,
Dan masih tetap berdiri…
Walau tempat lelah kutinggali…

Tapi kumasih disini…,
Dan masih tetap melangkah…
Walau jalan bosan ku lewati…

Mungkin suatu hari nanti…,
Semua cita kan kembali…
Hingga tempat dan jalan…
Tak lagi lelah dan bosan…..
JATUH

Jalan aspal… tenang… hitam…
Saat roda motorku melaju lembut di atasnya…
Hening…, seperti fikiranku yang melayang…
Terbang…, susuri masa tersulit dalam hidup…

Jalan aspal… keras… hitam…
Saat roda motorku kejutkan jantungku…
Ribut…, seperti kerusuhan tiba-tiba…
Teriak…, bangun dari kejamnya lamunan kosong…

Aku seperti biduk kecil dalam samudera luas…
Yang berlayar tanpa petunjuk dan tanpa bekal…
Pantai di otak… batu karang yang ditabrak…!
Aku jatuh !!!
Diantara waktu naas yang membokongku…
Dalam hari naas yang kupaksakan…
Kenyataan harus kutelan…
Demi kebahagiaan para sahabat…
Tapi musibah yang aku dapat…

Jalan aspal… panas… merah…
Saat telapak kakiku tak rasakan pijakan…
Diam… menahan sakit dari luka yang terbuka…
Hanya diam…
Seperti roda motorku…
Yang hanya menatapku…..


“…tak bijak pengemudi yang membiarkan pikirannya kosong…
perutnya kosong… dan dompetnya kosong…” (Sindang Barang, 2001)
















-----------------------------------------------------------------
RASS ( Gila Cinta )
-----------------------------------------------------------------

KETIKA CINTA KAN KEMBALI

Sudah saatnya ku membuka mata…
Dan lepaskan topeng bersih dosa…
Meski munafik melukai hati…
Seperti dirajam peluru duri…

Sudah waktunya ku berbesar hati…
Bahwa dunia tak selamanya gelap…
Meski rantai masih di tangan…
Ku tetap tegak walau bumi goyah…

Berjuta kata tersimpan di dada…
Ketika angin hembuskan suara…
Dan awan di langit bercerita…
Bahwa cintaku akan kembali…
Untuk hadir di pintu hati…..


CINTA TANPA NAFSU

Aku melihat kepada cermin…
Mengaca diriku pantulkan wajahku…
Seolah bertemu dengan sahabat…
Selalu tulus berikan senyumnya…

Aku bertanya pada hatiku…
Tuk coba temukan jawabnya…
Apakah memang di dunia ini…
Tak ada cinta tanpa kehadiran nafsu…

Seiring waktu yang terus berjalan…
Kucoba jalani walau hanya pelan…
Sendiri susuri lorong yang hitam…
Tuk coba temukan sejuta impian…

Temankan angin malam debu siang…
Bantu aku tuntun erat jiwaku…
Paksa mencari kenangan yang hilang…
Tuk coba temukan cinta tanpa nafsu…..


SENYUM DALAM HITAM

Ketika tangannya menarik ujung bajuku…
Dan melepaskan rantai yang mengunci maluku…
Hingga menanggalkan kain pembungkus kulitku…

Aku tak bisa lagi menyurut mundur…
Untuk sembunyi dari harga diri…
Karena aku yang lemah telah kalah…
Oleh senyum dalam hitam…

Ketika tubuhnya menarik ujung nafsuku…
Dan melepaskan kembang kebanggaannya…
Hingga menanggalkan kehormatan pembungkus sisi buruknya…

Aku tak bisa lagi mengelak menolak…
Untuk munafik dari teror gelap mata…
Karena dia yang basah telah merah…
Oleh senyum dalam hitam…


CINTA SATU BABAK

Sedang kucari cinta…
Dalam tubuhmu… yang…
Dan hujan turun…
Dari malam ke malam…
Tiada henti…

Kau bilang kau lelah…
Diam ! gumamku… uh…
Ku jual sudah…
Piringan hitam…
Kesayanganku…

Sedang kugali cinta…
Dalam tubuhmu…
Bagai mereka…
Menggali bumi…

Dalam makin dalam…
Lukapun terbuka…
Dari kecewa… berdua…
Berdua… berdua…..


KESUCIAN BERAKHIR

Ketika kuberdiri di atas jembatan sorgawi…
Yang merentangi jagat raya yang kacau balau…
Kuangkat sepucuk tombak perkasa dengan tanganku…
Senjata ampuh yang bertahtakan permata…

Ketika kucemplungkan dalam…
Masuk ke kekosongan yang rumit…
Sampai ujungnya tenggelam…
Masuk ke dasar lautan yang luas…

Ku gerak-gerakkan…, ku putar sampai mengental…
Dan saatku tarik kembali…
Gumpalan air asin…, menetes dari ujung tombak…
Membentuk pulau yang serta merta membeku…..


KEHADIRAN DI UJUNG APRIL

“Sekarang hampir tengah malam…, berdiri kaku…,
tegang di teras depan…..
mengukir jari kuasaku…, di dalam puisi bebasku…..

Aku menggulung rokok…, dan mulai menghisap…
Lalu kulemparkan mataku jauh ke dalam gelap…..
Apa aku senang ? Apa jiwaku tenang ?

Di depanku terbentang seribu jurang…
Bagai samudera yang berkembang…
Menghalangiku untuk menyeberang…,
Meraih bintang… menjemput kasih sayang…..

Aku masih di sini…,
Segala bunyi berlalu bagai kabut di lembah sunyi…
Dan kesepian malam pun jadi murni….

Ada paras manis dalam bayang-bayang….. Seperti pijar malam !
Oh…, dia gadis itu…, makhluk manis yang tak terlalu ku kenal…
Kehadirannya dimanapun…, tak henti-hentinya menyiksa diri…,
Dan mata polosnya…, menusuk-nusuk batasan hati….

Dia tampil di depanku dengan sinar di tubuhnya… indah memang…
Aku telah terpancing oleh sapaan senyumnya…,
Oleh angin cinta yang dikirimkannya…, mungkin ?
Ku terjebak !!! Tapi aku suka…
Akan aku tunggu adegan selanjutnya……………………………….

Pikiranku tak mendalam seperti tadi…, namun aku merasa senang…,
Ini seperti melayang-layang…, sungguh pun tanpa jiwa…
Mungkin karena berfikir tentang seseorang atau sesuatu…
dan menjadi bagian dari kekaburan tak berbentuk di benakku……..

“Tak terasa…, panas rokok menggigitku…
puisiku sudah hampir di ujung putih……………


SEBUAH RENUNGAN BUAT RASS

Tatapannya begitu indah…,
dan senyumnya lembut… dalam bibirnya yang penuh gairah…..
Aku tak bisa lepas dari pandangannya…, aku tlah termakan jeratnya…..

Geraknya begitu manis…, saat suaranya menyapa…..
Hatiku yang rapuhpun teriris…, bibirku beku…, lidahku menjadi kelu…,
Aku hanya diam… kaku…..
Dia pun berlalu…, bagai angin lalu…, hilang, lenyap dimakan waktu….
Kusadari diri…, kusesali diri…, si makhluk manis tlah pergi…..
Kuberharap…, dan akan kunanti…, sendiri…..
Di tempat ini…, di esok hari…, mungkinkah dia akan kembali…, kembali…..

Tangannya begitu hangat…,
baunya pun harum…, dalam genggamanku yang erat…..
Aku tak bisa lepas darinya…, aku tak ingin jauh dengannya…
Meski dalam mimpi……………………………………………


RASS

Rass…
Kupetikkan seribu… bunga…
Kujadikan satu rangkaian…, kembang harapan…
Lalu kukirimkan…, tanda ungkapan…,
Dari perasaan yang lama terpendam dalam…..

Rass…
Kuciptakan bahasa… cinta…
Hanya untuk satu pilihan…, paras impian…
Lalu kunyanyikan…, sbagai bukti tulus…,
Maksud ketertarikanku yang serius…..

Kutunggu jawaban…, di celah harapan…,
Kan tetap begitu sampai aku bosan…
Meski pijar malam…, tak berikan sinar…,
Ku kan tembus gelap sampai waktu hilang…..

Rass…
Kuingin kau tangkap pesan… rindu…
Yang kulemparkan kepadamu…, dari dasar kalbu…
Lalu kau rekatkan…, hingga tetap lekat…
Agar senyum mentari iringi langkahku….


SENYUM

Tersungging senyuman manis…,
kala beradu pandang…, dengannya…
Terasa berdebar dadaku…,
berdetak cepat memburu…
Sungguh menyesalnya aku…,
tak sempat ‘tuk menyapanya…
Aku hanya bisa…, terpana………

Senyumnya masih terbayang…,
dalam diri…, yang tak tlah tertawan…
Oleh senyuman manisnya..,
seakan tertanam dalam hati…
Sungguh menyentuh kalbuku…,
mungkinkah ku jatuh cinta ?
Aku hanya bisa…, berharap……..

Kukejar ku tahan langkahnya…
Dan coba ‘tuk menyapanya…
Kupandan… kutatap matanya…
Hanya ‘tuk dapatkan senyumnya…

Kupegang kugenggam tanggannya…
Dan coba untuk pancing rasa…
Akankah hatinya bicara…
Padaku yang rindu senyumnya…


GILAKAH AKU ?

Gilakah aku ?
Jika ku coret-coret langit kamarku…,
Hanya untuk membentuk paras manis…mu ?

Gilakah aku ?
Jika ku tulis-tulis dinding kamarku…,
Hanya untuk merangkai nama indah…mu ?

Tidak…, tidak…, aku tidak gila…
Hanya tergila-tergila…………….

Tergila-gilakah aku ?
Jika ku bayang-bayang paras manismu…,
Hanya untuk membayangkan lembut senyum..mu ?

Tergila-gilakah aku ?
Jika ku panggil-panggil nama indahmu…,
Hanya untuk memanggil cinta di hati…mu ?

Ya…, ya…, aku tergila-gila…
Hanya kepadamu………………


KUNANTI

Kala pagi…, sinar mentari sirnakan mimpi…..
Kala pagi…, paras manis hadir di hati…..

Wujudkan segala asa… yang lama terpendam dalam….
Ucapkanlah manis…, kata yang di hatimu…
Kuingin dengar…, meski aku jauh…..

Aku berharap… dan menanti….
Aku tak sabar untuk menunggu…
Aku rindu dirimu manis…,
Aku ingin kita berdua…..

Malam pun berlalu…, menghembuskan rinduku…
Tinggalkan prasangka…, yang bertanya pada dirimu…..


MARI KITA BICARA

Ada yang tersimpan…
Satu rasa…, di dalam dada…..
Jika kau pun sama…
Ada rasa…, katakan saja !?

Mari kita bicara… Asa dan cinta…,
Kita sudah dewasa…, Terbuka saja !?

Jangan biarkan cinta…, Menyiksa jiwa…,
Mari kita bicara…, apa adanya………….


TIBA-TIBA

Tiba-tiba ballpoint dan kertasku berdiri dan berkata dengan keras, “ajak kami masuk ke dalam hatimu, dan ceritakan tentang seseorang yang kamu kisahkan…”

Tiba-tiba akupun rindu…


ORANG KEDUA

Kutatap photomu dalam anganku,
Lalu kugambar ulang dalam kertas…
Tampak nyata,
Parasmu cantik dalam mimpiku…


SETELAH KUSEBUT NAMANYA SAAT MAKAN

Setelah kusebut namanya,
Ada sepasang mata indah muncul dari piring makanku,
Akupun tersenyum…

Setelah kusebut namanya,
Ada senyuman manis muncul dari sendok makanku,
Akupun tertawa…

Setelah kusebut namanya,
Ada suara merdu memanggilku,
Akupun menangis…


AKU ADALAH ANGIN

“Aku adalah angin !”, teriakku
“aku adalah angin yang bernafas dalam tubuhmu…”


RUHKU MENEMUKANMU

I
Ketika wangimu lewat di hidungku,
Ruh ku berkata;
“buka pintu dan semua jendela !”

II
Setelah wanginya masuk ke hidungku,
Ruh ku berteriak;
“tutup pintu dan semua jendela !”

III
Ketika wangimu berkumpul di paru-paruku,
Ruh ku menjerit;
“kenapa semua diam ?!”


KATANYA BULAN DAPAT MENGGANTI KERINDUANKU #1

Katanya bulan dapat mengganti kerinduanku…,
Saat kutatap bulan, bulan bicara; “kenapa kau memandangiku ?”

“katanya bulan dapat mengganti kerinduanku ?”, jawabku…


KATANYA BULAN DAPAT MENGGANTI KERINDUANKU #2

Kujenguk bulan,
“kenapa kau datang padaku ?,
Seharusnya kau pergi ke matahari…!”, bulan bicara…

Kupeluk bulan,
“aku tidak kuat menatap matahari…..”


KATANYA BULAN DAPAT MENGGANTI KERINDUANKU #3

“Aku hanya cermin dari angan yang kau sorot ke wajahku…”,
bulan berkata padaku…

“aku hanya mencoba.. katanya kau dapat mengganti kerinduanku!”,
teriakku…..


SETENGAH MATANG

Kupandangi telor yang terendam air dalam panci…
Lonjong, putih, cantik, pasrah…
“tidak adakah yang tahu bahwa bentukmu indah,
kulitmu mulus, dan cantikmu dari alam ?”
“tapi mengapa semua orang ingin memecahkanmu dan mengambil isimu ?”

Kau yang tenggelam hanya tersenyum…
Lonjong, putih, cantik, pasrah…
Kuangkat kau sebelum matang…

Aku adalah ayam yang melindungimu…..


SAAT KULIHAT JALAN MENUJU RUMAHMU

. . . . . , . . . . . . , . . . . . , . . . . . . ,
. . . . . , . . . . . . , . . . . . , . . . . . . ,
. . . . . , . . . . . . , . . . . . , . . . . . . ,
Kuingat ancamanmu…..


RINDU… RINDU… RINDU…

Siangpun menelan bulan,
Tapi masih kudengar sisa-sisa malam,
Suaranya menusuk berulang-ulang,
Rindu… Rindu… Rindu…

Matahari melepas jubahnya,
Matanya meledek,
Bibirnya mencibir, katanya;
Rindu ? Rindu ? Rindu ?

Aku tertawa saat awan hentikan suaranya,
Tapi masih kurasakan sombongnya,
Aku sempat teriak;
Rindu ! Rindu ! Rindu !


BENARKAN ?

Benarkah kau cantik…?
Benarkah kau cantik dengan bulu mata lentik…?
Benarkah kau cantik dengan bulu mata lentik dan menawan saat bibirmu tersenyum…?
Benarkah kau cantik dengan bulu mata lentik dan menawan saat bibirmu tersenyum yang kau lemparkan padaku…?

Kaupun mendelik…
Benarkan ? Kau memang cantik ?


PUISI, 1

Kulihat spidol dan kertas coretanku saling berbisik,
Tak sengaja..,
Kudengar kertas coretanku bicara ke spidol;
“apa tidak ada perempuan lain yang ingin dikisahkan ?”

“kenapa kau bertanya padaku ?”,
Spidol mengelak…


KOMPAK

Dan suara jam di kamarku pun kembali bernyanyi,
Menyatu dengan irama jantungku…
Mereka sama-sama lantunkan lagu…
Namamu………………………………………….


MENUJUMU

Kuhitung langkahku,
Diantara kata ada dan tidak ada…
Sepuluh…, sembilan…, delapan…

Kuluruskan tujuanku,
Diantara nada mol dan kres…
Tujuh…, enam…, lima…

Di teras kau tersenyum..,
Manis…

Aku lupa langkahku…..


SIAPA DIA ?

Siapa dia?
Yang membuatku tergoda…
Masuk ke dalam ruang yang menggairahkan…
Hingga membuat lututku gemetar…
Hingga aku tersungkur…
Menembus matamu…..


SEBELUM AKU TIDUR

Baik, akan kuceritakan beberapa kisah,
Tentang raja-raja, putri-putri, dan penyihir,
Binatang, dan ragam khayalan,
Sebelum aku tidur…

Baik, akan kuperagakan beberapa gaya,
Tentang aktor-aktor, penari, dan pantomim,
Sebelum aku tidur…

Baik, akan ku dendangkan beberapa lagu,
Tentang kehidupan, kecintaan, dan alam,
Sebelum aku tidur…

Baik, baik, aku akan akan tidur,
Selamat tidur !


TAK !

Tak !
………………………………..
Tak ! Tak !
………………………………..
Tak ! Tak ! Tak !
………………………………..
Kulihat balon karet di bibirmu…..
………………………………………………..
Tuuuiiiiiiing……..


UMURMU BELUM TUJUH BELAS

Kurasakan satu batalyon keringat mendobrak-dobrak dadaku,
Saat kusapu tubuhmu dengan nafsu di ujung mataku,
“bebaskan kami !” “bebaskan kami !”,
Mungkin begitu teriakan mereka…

Kurasakan dinding kaca menekan tangan panasku,
Saat kusapu tubuhmu dengan nafsu di ujung nafasku,
“stop !” “stop !”,
Mungkin begitu teriakannya…

Kurasakan jantung dan aliran darahku berhenti,
Saat mata jelitamu bangkitkan gairah,
“ayo maju ?” “ayo maju ?”

“tidak !” “tidak !”
“umurmu belum tujuh belas !”
Mungkin begitu teriakanku…


BILA UMURMU LEWAT TUJUH BELAS

W ……………………… W ………………………
Y ……………………… Y ………………………
S ……………………… G ………………………
I ……………………… I ………………………
W ……………………… W ………………………
Y ……………………… I ………………………
G ……………………… W ………………………

Aku jadi ingat lagunya christina aquilera……
Hi… Hi… Hi…..


TERUS TERANG #1

Terus terang, perasaanku terganggu,
Oleh gadis manis bermata jelita,
Tetapi aku tidak menyesal…

Terus terang, perasaanku terganggu,
Oleh tatapannya yang selalu membekas,
Tetapi aku tidak menyesal,
Tetapi aku tidak menyesal…

Terus terang, aku tidak menyesal,
Jika perasaanku terganggu,
Oleh tatapan mata jelita,
Dari gadis manis yang selalu kuingat…

Terus terang, aku tidak menyesal…..


TERUS TERANG #2

Dag dig dug
dug dag dig
dig dag dug

Dug dag dig
dig dag dug
dag dig dug

Dig dag dug
dag dig dug
dug dag dig

Aku jatuh cinta pada pandangan matanya…..


TERUS TERANG #3

Katakanlah,
Apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa ?
Kala kupandang mata jelitamu…
……………………………………………….
Tidak ada yang lebih dari itu…..


GERIMIS

Gerimis masih saja mengepung kotaku, dingin…
Masih kulihat bayangan paras manismu berkejar-kejaran dengan kantukku…
Akupun tertidur dalam hujan, dengan mimpimu…

Aku terbangun oleh cubitan matahari pagi,
Kulihat senyumnya lebar,
“selamat pagi !?”,
Kurasakan sapaannya,
Lembut…, hangat…, cerah…

Tapi gerimis masih mengepung hatiku,
Rindu……………………………………………..


NGUING… NGUING… NGUING…

Malam ini nyamuk-nyamuk tak seperti biasanya,
Mereka tak menggigitku, dan tidak mengerubuti telingaku…
Dengan nguing… Nguing… Nguing…

Mereka duduk berbaris rapih,
Menontonku yang tidur dengan suara nafasmu yang menggigitku dan mengerubuti telingaku,
Dengan nguing… Nguing… Nguing…..


DAUN TERAKHIR

Selembar daun yang berjalan pada ranting itu terpeleset, dia jatuh…

Melayang-layang dipermainkan angin yang genit…
Dia tersangkut pada dahan yang licin, dia tergelincir…, lalu terselip pada pohon yang kering, dia tersungkur…, lalu dia menempel pada tangkai yang masih hijau, dia diam……

Sekarangkah saat yang tepat untuk mencapaimu ?


KATA RASS

Saat kau tebar senyum itu untukku,
Ada mimpi-mimpi terindah yang mewarnai hatiku…
………………………………………………………………………..